SEJARAH AKHLAK DAN ETIKA DARI ZAMAN YUNANI SAMPAI ARAB SEBELUM ISLAM

Image result for akhlak etika

SEJARAH AKHLAK DAN ETIKA DARI ZAMAN YUNANI SAMPAI ARAB SEBELUM ISLAM

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Swt. yang telah memberikan begitu banyak limpahan nikmat sehingga di antara nikmat-Nya tersebut penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah dalam rangka nenuntut ilmu.
Shalawat beriringkan salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada baginda kita yang telah menuntun umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman ilmiah a’ni Nabi besar Muhammad Saw. juga kepada keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’atnya, serta sampai kepada kita selaku umatnya hingga hari kiamat Amiin.
Selanjutnya makalah yang berada di hadapan pembaca merupakan uraian materi yang ditulis mengacu kepada silabus mata kuliah Akhlak Tasauf I dengan Dosen pengampu Prof. Dr. H. Moh. Ardani yaitu tentang Sejarah Akhlak dan Etika, dari Zaman Yunani sampai Arab Sebelum Islam. yang Alhamdulillah telah selesai dituis. Tidak akan ada kata selesai disusun makalah ini melainkan dukungan dari semua pihak baik segi moril maupun materil. Untuk itu penulis sampaikan banyak terima kasih.
Sudah barang tentu dalam makalah ini tidak luput dari kekeliruan ataupun kekurangan baik dalam materi maupun dalam hal ikhwal penyusunan. Untuk itu penulis bermohon maaf dan tak lupa untuk sedia menerima berbagai masukan yang bersifat membangun untuk penyempurnaannya.

Penulis Markazuna


PENDAHULUAN

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa ilmu akhlak merupakan ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia untuk dinilai apakah perbuatan manusia tersebut tergolong perbuatan baik, mulia, terpuji, atau sebaliknya, yakni buruk, hina, dan tercela. Delain itu dalam ilmu ini dibahas pula ukuran kebahagiaan, keutamaan, kebijaksanaan, keindahan dan keadilan.
Yang merupakan persoalannya, mulai kapankah munculnya pembicaraan tentang masalah akhlak/ etika tersebut dan bagaimanakah perkembangannya sehingga sampai kepada masa arab sebelum islam bahkan sampai sekarang.
Pada kesempatan ini penulis menguraikan sedikit banyak mengenai tentang bagaimana perkembangan akhlak atau etika mulai dari pertama kali muncul ilmu tersebut hingga masa Arab sebelum islam, dengan materi  Sejarah Akhlak dan Etika, dari Zaman Yunani sampai Arab Sebelum Islam.

PEMBAHASAN

Sejarah Akhlak dan Etika, dari Zaman Yunani sampai Arab Sebelum Islam

Sejarah mencatat, pada zaman kuno orang telah mengetahui keragaman moral. Misalnya Hecataeous dari Miletus (550-480 SM) membawa cerita aneh, Herodotus (485-430 SM) Danius raja Persia kuno menceritakan bahwa orang Callatian suatu suku India selalu memakan orang yang telah meninggal ada juga yang membakarnya.

Untuk mengetahui sejarah akhlak dan etika, dari zaman Yunani sampai Arab sebelum Islam dapat dibagi menjadi beberapa masa, diantaranya; akhlak pada bangsa Yunani, akhlak pada agama Nasrani, Akhlak pada bangsa Romawi (abad pertengahan), dan akhlak pada bangsa Arab (sebelum Islam).

Akhlak pada Bangsa Yunani

Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya Shopisticians, yaitu orang-orang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, melainkan pada masa itu perhatian bangsa Yunani tercurah kepada penyelidikannya mengenai alam.
Dasar yang dipergunakan para pemikir Yunani dalam membangun Ilmu Akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis. Masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logoika murni.
Pandangan dan pemikiran filsafat yang dikemukakan para filosof  Yunani itu secara redaksional berbeda-beda, tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang akhlak ialah Socrates (469-399 SM). Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sugguh membentuj pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu pengetahuan.
Namun demikian para peneliti mengatakan bahwa Socrates tidak menunjukkan dengan jelas tentang tujuan akhir dari akhlak dan tidak memberikan patokan-patokan tentang ukuran perbuatan untuk menghukumnya baik atau buruk. Maka timbul beberapa golongan yang mengemukakan berbagai teori tentang akhlak yang dihubungkan pada Socrates.
Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya ialah Cynics dan Cyrenics. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes (444-370 SM). menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan. Sebagai konsekuensinya, golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak suka terhadap kemewahan, menjauhi kelezatan, tidak perduli dengan  cercaan orang, yang penting ia dapat memelihara akhlak yang mulia.pandangan golongan ini akan kita jumpai pada sufi dan filosof Islam. Iama al-Ghazali melalui teorinya yang disebut al-takhalluq bil akhlaq Allah ‘ala thaqah basyariyah, yaitu budi pekerti dengan budi pekerti Allah menurut kadar kesanggupan manusia, dan juga pada pandangannya mengenai tawakkal, ridla, ikhlas, zuhud, dan wara’ sebagaimana kita lihat dalam kitabnya Ihya ‘Ulum ad-Din, telah menggambarkan adanya akhlak tersebut.
Diantara pemimpin golongan Cynics yang terkenal adalah Diogenes, meninggal 323 SM. Ia mengajarkan kepada para muridnya supaya membuang kebiasaan manusia. Ia sendiri memakai pakaian compang-camping, makan makanan yang sederhana dan tidur di atas tanah.
Adapun golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippus yang lahir di Cyrena (kota Barka di utara Afrika) Golongan ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah yang tingkat dan kadar kelezatannya lebih besar dari pada kepedihan. Dengan demikian menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan mengutamakannya.
Kedua golongan tersebut di atas sama-sama membicarakan perbuatan yang baik, uatama dan mulia. Namun ukuran yang mereka gunakan berbeda. Golongan pertama Cynics bersikap memusat pada Tuhan (teo-centris) dengan cara manusia berupaya mengidentifikasi sifat Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang wujudnya tampil dengan seorang Zahid. Sedangkan golongan kedua Cyrenics bersikap memusat pada manusia (anthropocentris) dengan cara manusia mengoptimalkan perjuangan dirinya dan memenuhi kelezatan hidupnya. Namun terlepas aliran mana yang diikiuti, kedua aliran tersebut telah berbicara tentang akhlak yang mulia.
Pada tahap selanjutnya datanglah Plato (427-347 SM). Diantara bukunya yang mengandung ajaran akhlak adalah Republik. Pandangannya dalam bidang akhlak berdasarkan pada teori contoh. Apa yang lahiriah sebenarnya telah ada contohnya terlebih dahulu, lahiriah hanya sebagai bayangan atau poto copy dari contoh yang tidak tampak (alam rohani atau idea).
Dalam pandangan akhlaknya itu, Plato tampak berupaya memadukan antara unsur yang datang dari diri manusia sendiri, dan unsur dari luar. Unsur dari diri berupa akal pikiran dan potensi rohaniah lainnya, sedangkan unsur dari luar berupa pancaran nilai-nilai luhur dari yang bersifat mutlak. Paduan dari kedua unsur inilah yang membawa manusia menjadi orang yang utama.
Sejalan dengan itu, Plato berpendapat bahwa di dalam jiwa manusia terdapat kekuatan yang bermacam-macam, dan perbuatan yang utama timbul dari kemampuan membuat pertimbangan dalam mendayagunakan potensi kejiwaan pada hukum akal. Menurutnya bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat, yaitu hikmah (kebijaksanaan), keberanian, keperwiraan dan keadilan.
Kemudian datang Aristoteles (394-322 SM). Seorang murid Plato, dia mempelajari akhlak (etika) dan berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusia dari apa yang dilakukannya adalah kebahagiaan. Menurutnya jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah mempergunakan akal sebaik-baiknya. Aristoteles berpendapat bahwa apa yang berhubungan dengan keutamaan tidak cukup dengan diketahui apakah keutamaan itu? Bahkan harus ditambah dengan melatih dan mengerjakannya, atau mencari jalan lain untuk menjadikan kita orang-orang utama dan baik.
Aristoteles dikenal dengan teorinya moderasi (di kalangan tradisi Islam dikenal dengan istilah al-Wasath), yang mengatakan bahwa moral yang baik adalah sesungguhnya identik dengan memilih segala sesuatu yang bersifat “pertengahan”. Menurutnya tiap-tiap keutamaan ialah pertengahan antara dua keburukan, seperti dermawan merupakan tengah-tengah dari boros dan kikir.
Selanjutnya pemikir akhlak dari Yunani adalah Stoics dan Epicurus. Keduanya berbeda pandangan mengenai kebaikan. Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics, pandangannya ini banyak diikuti oleh ahli filsafat di Yunani dan Romawi dan pengikut-penikutnya yang termasyur pada remulaan kerajaan Romawi antara lain Seneca (65-6SM), Epictetus (60-140 M) dan kaisar Marcus Orleus (121-180 M).
Adapun Epicurus mendasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics. Paham mereka banyak diikuti di zaman baru ini, seperti Gassendi (1592-1656 M)/ Gancogne (1592-1655 M), seorang filosof Perancis. Dia membuka sekolah dan menghidupkan paham Epicurus, diantara muridnya ialah Mouliere.
Epicuros (314-270 SM) membedakan keinginan menjadi dua, keinginan alami yang perlu dipenuhi dan keinginan yang tidak perlu dipenuhi.
Ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani keseluruhannya tampak bersifat rasionalistik. Penentuan baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia. Karenanya tidaklah salah kalaau dikatakan bersifat anthropocentris. Pendapat akal yang demikian dapat saja diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Akhlak pada Agama Nasrani

Pada akhir abad ketiga masehi Agama Nasrani tersebar di benua Eropa. Agama ini berhasil mempengaruhi pemikiran manusia terhadap ajaran akhlak yang tersebut dalam kitab Taura. Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak, Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menurut agama ini bahwa yang baik adalah perbuatan yang disukai Tuhan dan berusaha melaksanakan semaksimal mungkin.
Ajaran akhlak agama Nasrani nampak bersifat teo-centri, karena itu tidaklah mengherankan jika ajarannya sejalan dengan ajaran ahli-ahli filsafat Yunani dari aliran Stoics. Kedua kelompok ini sama-sama mengenai akhlak mulia. Namun keduanya berbeda dalam hal sumber yang mendorong orang berbuat baik itu.
Para ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa pendorong perbuatan baik adalah pengetahuan dan kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani bahwa pendorong berbuat kebaikan adalah cinta dan iman kepada Tuhan berdasar petunjuk kitab Taurat. Menekankannya pada aspek sufistik (dimensi batin).
Agama Nasrani menghendaki agar manusia bersungguh-sungguh mensucikan diri dari perbuatan dosa, baik pikiran maupun perbuatan. Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Kebanyakan dari pengikut pertama agama ini menjauhi dunia yang fana, beribadah, zuhud.

Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)

Masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Gereja berusaha memerangi filsafat Yunanai serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang diperintahkan oleh wahyu benar adanya, sehingga tidak berguna penggunaan akal pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin yang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki persamaan dan menguatkan pendapat gereja.
Sebagian dari kalangan gereja menggunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokannya dengan akal. Filsafat yang menentang agama Nasrani dibuang jauh-jauh. Sehingga ajaran Akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah perpaduan antara ajaran akhlak Yunani dan agama Nasrani. Di antara penganut mereka yang termasyur ialah Abelard, filusuf  Perancis  (1079-1142 M) dan Thomas Aquinas, filusuf  Agama kebangsaan Itali (1226-1274 M).

Akhlak Fase Arab Pra Islam

Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak terdapat ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada aliran paham tertentu, seperti halnya di kalangan Yunani. Hal itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka. (H.A. Mustofa, 1999: 46).
Daya ingat dan hafalan orang arab pada waktu itu sangat kuat. Kehalusan perangai bangsa Arab waktu itu dapat dilihat dari syair-syair yang mereka ciptakan, seperti syair Zuhairi bin abi Salam yang mengatakan: “ Barang siapa menepati janji, tidak akan tercela; barang siapa mengajak hatinya menuju kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.
Dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhi dari perbuatan tercela dan hina. Hal yang demikian misalnya terlihat pada hikmah yang dikemukakan Luqman al-Hakim, Aktsam bin Shaifi; dan pada syair yang dikarang oleh Zuhair bin Sulma dan Hakim al-Thai.


PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang bagaimana sejarah akhlak/ etika dari zaman Yunani sampai Arab sebelum islam dapat dibagi menjadi beberapa fase, yaitu Akhlak pada bangsa Yunani, Akhlak pada agama Nasrani, Akhlak pada bangsa Romawi dan Akhlak fase Arab sebelum Islam.
Akhlak pada Bangsa Yunani
Ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani keseluruhannya tampak bersifat rasionalistik. Penentuan baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia. Karenanya tidaklah salah kalaau dikatakan bersifat anthropocentris. Pendapat akal yang demikian dapat saja diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Akhlak pada Agama Nasrani
Para ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa pendorong perbuatan baik adalah pengetahuan dan kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani bahwa pendorong berbuat kebaikan adalah cinta dan iman kepada Tuhan berdasar petunjuk kitab Taurat.
Agama Nasrani menghendaki agar manusia bersungguh-sungguh mensucikan diri dari perbuatan dosa, baik pikiran maupun perbuatan. Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Kebanyakan dari pengikut pertama agama ini menjauhi dunia yang fana, beribadah, zuhud.
Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang diperintahkan oleh wahyu benar adanya, sehingga tidak berguna penggunaan akal pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin yang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki persamaan dan menguatkan pendapat gereja.
Akhlak Fase Arab Pra Islam
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak terdapat ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada aliran paham tertentu, seperti halnya di kalangan Yunani. Hal demikian akibat dari tidak berkembangnya kegiatan ilmiah di kalangan masyarakat Arab. Pada saat itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikayat, hikmah dan syair.

DAFTAR PUSTAKA

Ameen, Ahmeed. 1947. Etika Berbagai Teori tentang Hukum Budi. Bukit Tinggi: Cerdas.
Amin, Ahmad. 1975. Etika(Ilmu Akhlak). Alih Bahasa: Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang.
Amin, Ahmad. 1975. Etika(Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.
AR, Zahruddin, dan Hasanuddin Sinaga. 2005. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Press.
Held, Virginia. 1991, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Magnis, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani sampai Abad-19. Alih Bahasa: Suseno. Yogyakarta: Kanisius (Pustaka Filsafat).
Mustofa, A. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Nata, Abudin. Akhlak Tasauf.
Nata, Abudin. Akhlak Tasauf.
Shomali, Mohammad A. 2005.  Relativisme Etika. Jakarta: Serambi.
Shubhi, Ahmad Mahmud. 1992. Filsafat Etika. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Widjajanti, Rosmania Sjafariah. 2008. Etika. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syahid.
Zubair, Ahmad Charis. 1995. Kuliah Etika. Cet. 3. Rajawali Jakarta: Press.
http://doelmith.wordpress.com/2009/03/01/mata-kuliah-akhlak-tasauf/
http://sisyat86inspiriete.blogspot.com/2008/04/sejarah-perkembangan-etika.html

Post a Comment

1 Comments