Profesi Keguruan
Profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan itu, jelas kiranya bahwa profesiolalisasi dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini, maka profesionalisasi guru (pendidik) merupakan suatu keharusan, terlebih lagi apabila kita melihat kondisi objekif saat ini berkaitan dengan berbagai hal yang ditemui dalam melaksanakan pendidikan, yaitu: (1) perkembangan Iptek, (2) persaingan global bagi lulusan pendidikan, (3) otonomi daerah, dan (4) implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).[1]
Perkembangan
IPTEK yang cepat, menurut setiap guru dihadapkan pada penguasaan
hal-hal baru berkaitan dengan materi pembelajaran atau pendukung
pelaksanaan pembelajaran seperti penggunaan internet untuk pembelajaran,
program multimedia, dan lain sebagainya.
Diberlakukannya
pasar bebas melalui NAFTA mengindikasikan bahwa setiap lulusan
pendidikan di Indonesia akan dipersaingkan dengan lulusan dari
sekolah-sekolah yang berada di Asia. Kondisi ini semakin memaksa guru
untuk segera dan dengan cepat menghasilkan lulusan yang kompeten.
Kebijakan
otonomi daerah telah memberikan perubahan yang mendasar terhadap
berbagai sektor pemerintahan, termasuk dalam pendidikan. Pengelolaan
pendidikan secara terdesentralisasi akan semakin mendekatkan pendidikan
kepada stakeholders pendidikan di daerah dan karena itu maka guru
semakkin dituntut untuk menjabarkan keinginan dan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat terhadap pendidikan melalui kompetensi yang dimilikinya.[2]
Pencanangan
implementasi KTSP menunjukkan bahwa kualifikasi profesionalisme harus
benar-benar dimiliki oleh setiap guru apabila menginginkan lulusan yang
memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan. Lebih khusus lagi, Sanusi
et.al (1991:24) mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yakni sebagai berikut.
1. Subjek
pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi,
dan perasaan, yang dapat dikembangkan segala potensinya: sementara itu
pendidikan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat
manusia.
2. pendidikan
dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka
pendidikan menjadi normatif yang diikatoleh norma-norma dan nilai-nilai
yang baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan
para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.
3. teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotesis dalam menjawab permasalaha pendidikan.
4. pendidikan
bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai
potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah
usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebuut.
5. inti
pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi
dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta
didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
6. sering
terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan
manusia sebagai manusia yang baik, dengan misi instrumental yakni
merupakan alat untuk perubahan atau pencapaian sesuatu.[3]
Beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyelanggaraan pengembangan
untuk tenaga kependidikan menurut Syaefudin dan Gunawan, yaitu:[4]
1. Dilakukan untuk semua jenis tenaga kependidikan (baik untuk tenaga struktural, fungsional, maupun teknis)
2. berorientasi
pada perubahan tingkah laku dalam rangka peningkatan kemampuan
profesional dan untuk teknis pelaksanaan tugas harian sesuai posisi
masing-masing
3. dilaksanakan untuk mendorong meningkatnya kontribusi setiap individu terhadap organisasi pendidikan
4. dirintis dan diarahkan untuk mendidik dan melatih seseorang sebelum maupun sesudah menduduki jabatan/posisi
5. Dirancang
untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan dalam jabatan, pengembangan
profesi, pemecahan masalah, kegiatan0-kegiatan remedial, pemeliharaan
motivasi kerja, dan ketahanan organisasi pendidikan.
6. pengembangan
yang menyangkut jenjang karier sebaiknya disesuaikan dengan kategori
masing-masing jenis tenaga kependidikan itu sendiri.
MODEL PENGEMBANGAN GURU
Banyak
cara yang dilakukan oleh guru untuk menyesuaikan dengan perubahan, baik
itu secara perorangan, kelompok, atau dalam satu sistem yang diatur
oleh lembaga. Mulyasa (2003:43) menyebutkan bahwa pengembangan guru
dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in service training.[5] Sementara Castetter menyampaikan lima model pengembangan untuk guru seperti pada tabel berikut.[6]
Model Pengembangan Guru
|
Keterangan
|
Individual Guided Staff Development
|
(Pengembangan Guru yang Dipandu Secara Individual)
|
Obsevation/Assessment
|
(Observasi atau Penilaian)
|
Involvement in a development/ Improvement Process
|
(Keterlibatan dalam Suatu proses Pengembangan/Peningkatan)
|
Training
|
(Pelatihan)
|
Inquiry
|
(Pemeriksaan)
|
Dari
kelima model pengembangan guru di atas, model “training” paling banyak
dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta. Pada lembaga pendidikan, cara
yang populer untuk pengembangan kemampuan profesional guru adalah dengan
melakukan penataran (inservice training) baik dalam rangka penyegaran (refresing) maupun peningkatan kemampuan (up-grading). Cara lain baik dilakukan sendiri-sendiri (informal) atau bersama-sama, seperti: on the job training, workshop, seminar, diskusi panel, rapat-rapat, simposium, konferensi, dan lain sebagainya.[7]
Inovasi
dalam pendidikan juga berdampak pada pengembangan guru. Beberapa model
pe\ngembangan guru sengaja diranang untuk menghadapi pembaruan
pendidikan.
Model-model efektif pengembangan kemampuan profesional guru menurut Candall:
o Model Mentoring, model dimana berpengalaman merilis pengetahuannya pada guru yang kurang berpengalaman.
o Model Ilmu Terapan, berupa kebutuhan praktis yaitu dari teori ke praktik.
o Model
Inquiry, pendekatan yang berbasis pada guru-guru, para guru harus aktif
menjadi peneliti, seperti membaca, bertukar pendapat, melakukan
observasi, melakukan sekaligus meningkatkannya.[8]
Menurut
Soetjipto dan Kosasi (2004:54)\, pengembangan sikap profesional ini
dapat ilakukan selama dalam pendidikan prajabatan maupun setelah
bertugas (dalam jabatan).
1. Pengembangan profesional selama pendidikan prajabatan
Dalam
pendidikan prajabatan, calon guru didik dalam berbagai pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Karena
tugasnya yang bersifat unik, guru selalu menjadi panutan dari siswanya,
dan bahkan bagi masyarakat sekellilingnya. Sehingga bagaimana guru
bersikap terhadap pekerjaan dan jabatannya selalu menjadi perhatian
siswa dan masyarakat.
Pembentukan
sikap yang baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina
semenjak calon guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru.
Berbagai usaha dan latihan, contoh-contoh dan aplikasi penerapan ilmu,
keterampilan dan bahkan sikap profesional dirancang dan dilaksanakan
selama calon guru berada dalam pendidikan prajabatan.
2. Pengembangan profesional selama dalam jabatan
Pengambangan
sikap profesional tidak terhenti setelah calon guru selesai mendapatkan
pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka
peningkatan sikap profesional keguruan dalam masa pengabdiannya sebagai
guru.
DAFTAR PUSTAKA
Joni, T. Raka (Penyunting). 1992. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Konsorium Ilmu Pendidikan
Makmun, A.S. 1996. Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan. Bandung: PPS IKIP.
Sanusi, A. dkk. 1990. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung.
Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suryadi, Ace dan Mulyana, Wiana. 1992. Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profeional Guru. Jakarta: PT. Candimas Metropole
World Bank. 1989. Indonesia: Streangthening the Quality of Teacher Education. Draft Technical Paper, Asia Region.
0 Comments